Minggu, 05 September 2010

EGO

Ego, sering diartikan kurang baik dalam bahasa sehari hari kita. Sifat ini biasa kita lekatkan pada karakter seseorang yang mementingkan diri sendiri tanpa memerhatikan posisi orang lain. Namun, apakah memang demikian, bahwa ego adalah sifat yang harus dihilangkan atau dihindari dari seseorang? Tiap manusia memiliki ego sebagai naluri dasar manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial sekaligus. Secara naluriah, sifat ini pulalah yang membuat manusia tumbuh dan berkembang dari jaman ke jaman dan berlomba sekreatif mungkin menemukan cara – cara hidup baru dan menempati posisi lebih tinggi dibanding rival sesama manusia ataupun menaklukkan alam sekitarnya. Ego merupakan aktualisasi diri manusia untuk menyalurkan keinginan atau ide untuk dirinya ke objek diluar dirinya sendiri. Sekarang bandingkan dengan kata “motivasi”. Ego dan motivasi sama sama memiliki sifat “dorongan” secara psikologis bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Perbedaannya adalah, motivasi bisa dihasilkan oleh faktor diluar diri manusia itu sendiri. Kita bisa saja termotivasi karena ingin menyalurkan hasrat pribadi kita sendiri,maka dalam hal ini ego adalah lebih dominan, atau karena kita memperjuangkan kepentingan objek diluar diri kita, misalnya kerabat, teman, atau keluarga dan lan-lain. Namun pertanyaanya adalah, bagaimana kemudian kita mengatur ego dalam diri kita sehingga kita berkembang menjadi orang yang memiliki motivasi kuat namun tidak diakatakan egois?

Pertama, pengertian ego dalam arti luas dan sempit. Dalam arti sempit, jelas bahwa seseorang melakukan sesuatu karena kepentingannya terhadap dirinya sendiri, artinya ini terlepas dari teman, keluarga, atau pihak – pihak lain diluar ring fisiknya dia. Nah, dalam arti luas ego bisa dikatakan berkaitan dengan semua latar belakang kepentingan manusia, walaupun hal itu telah keluar melewati batas ring fisiknya sendiri. Misal dalam sebuah keluarga, seorang suami yang membela istrinya yang berselisih dengan tetangga atau saudara jauhnya, tentu ini adalah wujud ego dari keluarga. Seorang pelajar yang terlibat tawuran dengan pelajar dari sekolah lain karena solidaritas membela kepentingan almamaternya walaupun sebenarnya ia tidak tersangkut paut langsung. ini juga sebagai wujud “aku” yaitu “sekolahku bukan sekolahmu“, “kampusku bukan kampusmu“. Dalam kehidupan sehari – hari, seringkali kita lihat contoh contoh ego dalam pengertian luas ini; Ego Religi: “agamaku bukan agamamu“, “Tuhanku bukan Tuhanmu“, Ego Keluarga: “anakku bukan anakmu“, “istriku bukan istrimu” ego karir: “Anak buahku bukan anak buahmu“, “divisiku bukan divisimu“, ego nasionalisme: “negara dan bangsaku bukan negara bangsamu“, Ego Racial: “suku-ku bukan suku-mu” “etnisku bukan etnismu“, “margaku bukan margamu” dan masih banyak lagi.

kedua, berfikir luas dan jauh serta seimbangkan! Motivasi yang tumbuh dari naluri ego ini ibarat seperti koin yang bisa punya dua sisi. Bisa berujung pada kebaikan ataupun ketidakbaikan, tergantung bagaimana kita bisa mengendalikan diri dan menyeimbangkannya. Tentu mengendalikan naluri bukannlah hal mudah. Salah satu kuncinya adalah seimbangkan antara ego kita di ring paling rendah dengan ring diatasnya atau kepentingan yang lebih luas. Jika kita menghadapi konflik dengan pihak diluar diri kta dalam hal mewujudkan motivasi atau memenuhi hasrat kita akan ego, maka selalu pikirkanlah ego kita untuk ring kita yang lebih luas, dan jika itu selaras, maka cukuplah bagi kita pegangan untuk melangkah maju lagi. Kemudian pikirkanlah ring yang lebih tinggi lagi didalam cakupan masalah yang dihadapi hingga suatu saat kepentingan itu akan berpusat pada satu kepentingan bersama yang paling tinggi. Ketika itu semua sudah selaras, maka niscaya kita telah berhasil menyeimbangkan dan menjaga ego kita tidak kebablasan. Gambarkan seorang karyawan yang yang termotivasi untuk menjadi “the best achivement tahunan” maka ego didalam dirinya yang besar akan memunculkan berbagai macam pikiran didalam benaknya mulai dari yang baik hingga yang kurang baik. Keinginannya untuk mencapai hasil diatas target membuatnya berfikir segala cara termasuk menggembosi karyawan lain. Pada saat seperti itu, ia haruslah memikirkan ego nya diluar ring diri nya sendiri, yaitu ego divisi atau departemen tempat ia bekerja. misal; marketing. Apakah cara-cara yang dia akan lakukan bertentangan dengan kepentingan departemen marketing secara bersama? kemudian ia harus berfikir juga dengan ego yang lebih luas lagi, yaitu ego perusahaan. Apakah cara ia berlaku sebagai karyawan departemen marketing akan merugikan nama baik dan harmoni dalam perusahaan tempat ia bekerja itu? Nah, jika ide – ide dalam benaknya telah selaras dengan semua kepentingan “aku” “departemenku” “perusahaanku” maka niscaya ia telah berhasil menjadi seorang yang bisa memanajemen ego dalam motivasi kerja yang sehat. Demikianlah sebuah visi dan misi perusahaan disepakati antara pemilik dan pekerja, dimana ada prinsip saling menjaga keselarasan antar kepentingan “aku”, “karyawanku”, “kantorku” “bosku” “pemegang saham merk-ku” :)

Dalam kehidupan sehari – hari juga banyak contoh lain dalam berbagai aspek seperti saya tulis diatas. Hendaknya kita selalu berfikir jauh ke depan dan menyeimbangkan kepentingan yang lebih tinggi sehingga kita menjadi pribadi yang berprestasi, memiliki motivasi kuat tanpa harus dibilang egois. Ego adalah naluri manusia. naluri tidaklah bisa dikekang dan harus diatur penyalurannya. Semoga menjadi inspirasi kita dalam berlaku :)

source http://dennymiaow.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar